Cerpen: Ketika Hati Menjadi Saksi

Kalimat pembuka buku harianku, sengaja aku tulis di halaman muka. Setiap kali aku ganti buku harian, percakapan tersebut selalu aku tulis ulang. 

Lembar kehidupan terlewati beriring berubahnya diriku, hanya satu yang tidak berubah. Yakni, menulis dalam buku kecil harianku. Susah, senang, selalu aku tanam bait-bait kalimat, agar kelak bisa mengenang hari-hari yang pernah terlalui. 

Jember, Tulung agung, Malang, Surabaya akhirnya kini aku tertambat di Hongkong. Negeri seribu rupa dan seribu Dewa, tempatku bekerja lima tahun terakhir. Serta tempat dimana aku bukan lagi Rina yang dulu. Katakanlah, aku sudah berubah kini.

"Derr, besok kita ke Stanley dulu baru ke Wanchai setelah agak sore ya? Ikutan acaranya Kak Tio". Ujar Rico lewat telepon.
Derr, ya, kini teman baruku memanggilku dengan sebutan Derry. Setelah apa yang aku cari tak bisa aku temui. Aku melanglang dalam pergaulan tak mengenal Tuhan. Apa yang dulu aku ingini, tercapai sudah. Kebebasan dari segala bentuk aturan, kebahagiaan dari segala bentuk permainan. Hidup lebih nyaman tanpa bentuk aturan apapun. Aku pun bergabung dengan kelompok rahasia. Kami menamakanya, Free line.

Setelah menerima telepon dari Rico, aku keluar hendak pergi ke swalayan. Sangat kebetulan, berpapasan dengan mbak  Wulan, kenalan yang bekerja di rumah sebelah, "Hai Mbak Rina.." sapanya.
"Mau kemana, Mbak?"
"Mau ke pasar,"Jawabnya, sambil tersenyum. Wanita anggun dengan kerudung memanjang menutupi dada. Suaranya sangat lembut dan berwibawa.

Sebenarnya aku sering berpapasan dengan Mbak wulan, saat mencuci mobil, ke pasar atau saat berangkat libur. Tak ada yang di kata olehnya, hanya senyum dan sapaan ramah sambil membelai pundakku. Awal mula aku sangat benci kala ia memanggilku Mbak  Rina, bagiku, nama itu sudah aku kubur jauh-jauh hari. Namun lama kelamaan aku nyaman dengan bahasa lembutnya. Ada kedewasaan yang ia sematkan saat memanggil namaku di barengi awalan 'Mbak'. Tidak seperti Teman-temanku yang terkesan asal dan tanpa sopan santun, saat memanggilku Derry. Perbedaan yang mencolok. Mbak Wulan seakan sangat menghargaiku. Ya, dia sangat menghargaiku.

Hari bertemu hari berikutnya. Aku semakin bingung dengan kehidupanku. Laksana dalam pelayaran, aku tak punya tujuan. Tak punya petunjuk jalan. Semua gelap. Ibu sudah meninggal tiga tahun lalu. Ayah? Entah dimana.  Suami sudah hidup bahagia dengan istri mudanya. Sementara kakak dan adekku juga sudah hidup nyaman dengan keluarganya masing-masing. Perjalanan mencari diriku belum aku temui, meski sorak sorai mengelilingi dengan pasti. Gemerlap dunia bebas mengelilingiku tanpa ada garis yang membatas jarak.

Ada satu yang aku butuhkan. Tambatan kedamaian, sejak dulu aku cari, dari kota ke kota semua tak ada. Dan ternyata pengembaraan ku menyesatkan ku. Benar-benar tersesat! Rokok dan Minuman keras menjadi dambaan kala libur. Berpesta di bawah lampu warna dan bising music tanpa jeda. Membuatku lebih hidup dan merekah, puas? Ternyata belum. Seringai tawa dan manja terpojok dalam transaksi haram. Hingga benar-benar membuatku lupa. Kala jam menunjukkan angka sembilan malam, sepi mulai menyapaku tanpa tanya. Itulah yang paling aku benci. Lunglai menuju antrian bus yang hendak mengantarkanku pulang ke rumah Tuan. Ah, aku harus kembali menjadi pesuruh yang terkadang di perlakukan bagai anjing kurapan, dimana Tuhan?

"Bah! Tidak adil benar hidup ini, "rutukku dalam kejengkelan mencermati hidup.
"Mbak Rina? Eh, kebetulan sama-sama antri".
"Iya Mbak, mana antrianya panjang banget. Be-Te!".
"Ya untunglah, kita antri bus ini. Tengoklah antrian sebelah, MasyaAlloh panjang sekali. "Ujar Mbak wulan mengajakku menoleh kebarisan antrian yang agak jauh dari lokasi kami.
"Tadi dari mana Mbak?"
"Hmm, tadi ke pengajian, Ustadnya dari Jakarta. Lumayan Mbak Rina, nambah ilmu. Mumpung masih ada kesempatan,"
"Ow, nggak capek?"
"Nggak tue, segala sesuatu yang di jalani dengan ikhlas dan sepenuh hati, InsyaAlloh akan ringan kok,"bijak sekali".
Ungkapan yang menyejukkan. Sedikit menghibur kesendirian karena trlah kehilangan teman-teman bermainku.

Rinai hujan masih mengguyur bumi, semakin di landa sepi dan juga bimbang. Sungguh, jauh di lubuk hatiku nan suci, aku menginginkan perubahan atas semua ketidak nyamanan dalam hidupku,
"Mbak Rin, belajarlah bersyukur. Manusia itu Makhluk yang selalu saja tidak puas. Bila kita enggan untuk bersyukur, maka kita yang akan celaka. Karena nafsu ketidak puasan akan bergelayut bagai belatung."
Nasehat Mbak wulan menyambar dinding hatiku, memecah semua kesombongan berkerak, yang tidak mengakui Tuhan.

Aku merasakan sakit di dada, sesak. Semakin sukar bernafas. "Allah,"rintihku tanpa sadar. Hingga tersungkur di lantai tak berdaya, maut sudah memperingatkanku. Dan benar, aku terserang paru-paru dan Hiv akibat gaya hidup yang aku jalani. Hasil yang aku tanam, terpanen sudah. Sepinya rumah sakit dan bau obat menusuk-nusuk kalbu. Pandanganku tak berkedip sesaat, kala aku lihat ranjang jenazah melewati ambang pintu. Berderet menyayat telinga. Raungan tangis terdengar dari keluarga yang mengikuti, pilu.

Kalau aku mati? Siapa yang menangisiku. Sementara tak ada lagi teman yang mau tau dengan keadaanku disini. Mereka semua hanya mau senangnya saja. 
"Derr, kalau Lo mati di hongkong, kita bakal di tanyain macam-macam ma polisi. Jadi sorry ya, gue nggak bisa temenin Lo, moga cepet sembuh!" Ujar Rico kala aku tanyain kenapa mereka tak membesukku. Tega sekali mereka 

Di antara kesedihan yang dalam, terdengar suara salam tepat di samping ranjang,
"Wa'alaikumsalam..." Jawabku gugup, sambil menjabat tangan Mbak Wulan,
"Maaf, baru sempat, kemarin Majikan ke china, jadi nggak ada yang jaga anak-anak.
"Lho, kok tau Mbak". Tanyaku heran atas kedatangannya shore itu.
"Aku lihat saat kamu di angkut Ambulance, kebetulan Mbak baru pulang dari pasar". Jelas Mbak Wulan.
"Aku sudah hampir mati Mbak," uraiku jujur,
"Tak ada satupun teman ku yang mau peduli,"
"La aku ini siapa mu?
"Khan kita berbeda,"lirihku lagi.
Tanpa menjawab, Mbak wulan sibuk merapikan selimutku lalu menuang susu hangat yang ia bawa dalam termos.
"Di minum dulu, biar badanya hangat".
"Orang mau mati di suruh minum susu!"
Jawabku sambil melengos.
"Darimana tau? Mbak Rina peramal?"
Jangankan kita, Malaikat saja tidak pernah tau kapan Mbak Rina mati. Rahasia itu hanya miliik Alloh Mbak".
Aku terdiam,
"Aku tidak punya Tuhan Mbak?"
"Astaghfirulloh!" Mbak wulan kaget kemudian kami saling diam. 
"Boleh bertanya?" Mbak wulan duduk lebih dekat,
"Mbak... Merasakan sakit, apa yang di ingat?"
"Entah,"jawabku asal,
"Tak ada satupun yang di ingat?"
Akupun terdiam lama, mencoba terbangkan masalalu. Mengambil sisa-sisa masa yang aku ingat. Mulai dari masa kecilku, dewasaku hingga detik ini.
"Allah, jujurku.
"Nah, itu tandanya Mbak punya Tuhan, yaknu Allah. Hanya saja Mbak Rina tidak sepenuh hati percaya adanya kekuasaan-Nya, karena Mbak terlalu terlena dengan mewahnya dunia."
Lirihku, sesak tertahan. Mbak wulan memelukku, mengajakku berdo'a. Menciumi pipiku lalu berujar.
"Mbak Rina bagai seorang bayi suci yang baru lahir".
"Aku?" tak mengerti dengan ungkapan Mbak wulan.
"Besok saya akan kesini bersama sahabatky."
"Apakah dia akan membawa kebaikan untukku?"
"Oh, tentu".

Inilah yang aku cari, ketenangan bathin haqiqi. Dan aku mulai kembali menata hidupku, kala Rico dan teman-teman kelompokku hadir. Aku yang saat itu sedang berada di lorong rumah sakit, dengan jelas melihat kedatangan mereka. Sejenak aku memandang Mbak wulan, meminta solusi, karena aku yakin mereka takkan membiarkanku kembali pada jalan yang lurus.

"Katakan apa yang sesuai dengan hatimu Mbak Rina. Aku yakin, itulah sebenar-benar jawabanmu atas mereka".

Ke-lima temanku semakin mendekat, ada rasa takut, ada rasa bimbang mengaduk-aduk otakku.

"Hai Derr, kita sengaja menjenguk barengan. Pengen tau keadaanmu,?
"Oh,terimakasih."
"Derr, kau berubah setelah ada orang aneh ini".
"Dia punya nama, jadi tolong hargai sesama!"
"Okey, tak perlu kau jelaskan. Sekarang aku bertanya, apa yang kamu lakukan setelah keluar dari sini?"
"Kembali ke rumah majikan,"Jawabku asal 
"Bukan itu!" sepertinya Rico mulai tidak sabar,
"Maafkan aku, aku tidak bisa bergabung dengan kalian, tapi aku tetap berkunjung ke tempat kalian, meski tak seperti dulu lagi".
"Derr?"
"Aku ber-Tuhan, dan Alloh adalah Tuhan ku,"
Rico tergesa meninggalkan ruangan dimana aku berada. Aku memandang mbak Wulan berdiri tak jauh dariku. Ia tersenyum, mendekat, lalu memelukku dengan erat,
"Masihkah Alloh mengampuniku?" Tanyaku.
Mbak Wulan mengangguk. Tersenyum lalu menciumi pipiku bergantian.
          ***            

NB: Cerita ini saya ambil dari kisah nyata sahabatku sendiri, Alhamdulillah Alloh telah membukakan Mata hatinya di bulan Ramadhan ini, subhannalloh. Semoga cerita ini bisa kita buat untuk renungan menjadi pribadi yang lebih baik dan pandai bersyukur, امن. ^_^



Posting Komentar untuk "Cerpen: Ketika Hati Menjadi Saksi"