Cerpen: Musibah Membawa Berkah

         
Embun tampak begitu penat. Peluh yang membanjiri kedua pelipisnya luruh jatuh bagai air Bah.
"Nasib jadi orang miskin," Cetusnya singkat. Sambil menyeka peluh-peluhnya yang terus jatuh.
Kemudian kembali membawa gitar besarnya. Ia memulai langkah lagi, memainkan gitarnya di sepanjang jalanan bus kota. Hari itu jalanan sepi mungkin karena efek hujan, jadi orang-orangnya pada malas keluar rumah. "Begitulah, hari ini kamu ngamen ?" Arul tampak kaget melihat gitar yang di bawa Embun.

"Miskin itu tidak enak  Rul.   Pahit!"   ujar Embun kelu. Matanya memandang bocah-bocah yang tengah bermain bola di lapangan tak jauh dari tempat mereka duduk. Mata Embun berkaca-kaca.

Arul teringat keterpaksaan embun ngamen dari jalan ke jalan lantaran Nenek embun sakit. Saat itu kakak Embun juga lagi  kerja dan belum bisa kirim buat keluarganya karena belum mendapatkan kerjaan yang pasti. karena itulah embun harus menanggung semua biaya neneknya di Rumah Sakit.

Bagi Embun kemiskinan itu menakutkan. Sejak itu, gadis lulusan SD itu ingin bertekad kaya. Dengan kaya kesuksesan menjadi manusia akan Embun raih. Embun bosan bila tiap hari harus menghisap asap rokok dan debu-debu jalanan. Masa-masa muda yang menurut orang lain adalah indah, tidak terkecap oleh Embun. Yang ada dalam diri gadis mungil itu adalah pekerjaan yang menumpuk setelah pulang dari sekolah mulai dari kerjaan rumah sampai kerja di penjahit dan malamnya harus ngamen sana sini, tidak ada waktu istirahat tidak ada waktu ngumpul dengan teman. yang ada hanya kerja dan kerja. Dari situlah, Embun bertekad untuk kaya. Embun sangad benci kemiskinan.


"Embun, jangan lupa ingat dan cari Tuhan ya Mbun. Banyak Do'a, biar kerja kamu enak dan lancar. "tutup Arul kemudian. percakapan berakir, dan Embun kembali dalam  senyap  yang merelung pucuk hati. 'Tuhan tidak pernah mendengar Do'a ku. Buat apa aku mencarinya. Yang penting aku kaya!  Do'a urusan belakangan. Embun menjawabnya ketus dalam hati.

Minggu selanjutnya kembali ramai, membuat Embun tambah semangat. Dari pagi sampai malam ia tiada berhenti. Tidak ada waktu istirahat, tidak ada waktu mengingat teman, tidak ada waktu belajar dan tidak pula ada waktu mengingat Tuhan. Jangankan Tuhan, makanpun tak sempat.  Tuhan?  dimana sebenarnya ia berada.  Selama ini Embun sering memanggil Tuhan, menangis pada Tuhan, merenung pada Tuhan. Tapi tidak satupun  yang ia dapatkan dari Tuhan.

Bertahun-tahun nenek Embun pasrah pada Tuhan, bertahun-tahun pula mereka miskin. Sedari kecil Embun selalu menanti Tuhan di tengah malam yang lelah selepas sekolah dan kerja, tapi Tuhan tidak Tampak pula. begitu pula saat Embun berdo'a meminta agar di  pertemukan dengan Ibunya, nihil. Yang ada hanya rasa capek dalam sesak yang mendegub  dada. Meratap sengsara dan yangis bergemuruh dalam biru, sebuah pencarian kepada Tuhan yang tidak terjawab.  "Aku ingin kaya. itu saja!!"   ujar Embun saat beberapa temanya bertanya alasan ia mengamen di jalanan.

Kesibukan Embun mengamen telah membuatnya tidak mengingat Tuhan. Tak peduli lagi dengan Al-Qur'an pembelian Neneknya yang di taruh di dalam almari tua itu dan tidak peduli lagi dengan Agama yang ia anut. Yang terpenting dalam hidup ini adalah mengejar keuntungan kemudian hidup nyaman, dan Kaya akan membuat Embun bisa membahagiakan Neneknya yang sedari kecil telah merawatnya.

Jangan ajak aku macam-macamlah. aku hanya ingin memanfaatkan waktuku yang sedikit untuk mencari modal. Ngaji urusan belakangan, bisa nanti. Sekarang fokus bekerja duulu, Lagi pula ngaji akan merasa tenang kalau kita banyak uang, punya uang berarti, Kaya.

"Mbun, sesekali ingatlah Tuhan. Kakimu yang kuat di gunakan berjalan itu pemberian Tuhan, "ujar Arul merendah.
"Tapi Tuhan tidak memberiku uang! ngapain aku harus mencarinya?" Embun mendelik ke arah Arul.
"Tapi Tuhan memberimu kaki, tangan dan mata. juga orang-orang yang simpati padamu dan kemudian memberimu uang bukan?"

"Cukup!jangan khotbah di dekatku. Aku tidak butuh di khotbahi selama aku masih miskin. Nanti saja bila aku sudah kaya. Toh, sekarang kamu berbicara denganku tentang Agama pun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku belum punya uang untuk zakat dan infaq, Nenek juga masih sakit dokter tidak mau nanganin sebelum ada uang.

Jalanan panjang terlihat ramai oleh lalu lintas sore. Ia pun turut antri di barisan calon penumpang bus lainya. Bagi Embun, bus adalah lahan penghidupanya. Bus adalah angkutan sebagian kecil dari angkutan yang mengejar setoran selain taxi. jadi kecepatan, waktu dan jumlah penumpang menjadi perhitungan. "Nah, lagi-lagi uangkan?  Tuhan  tidak punya andil disini, ucap Embun dalam hati sambil menjulurkan uang pada kondektur. "Uang tetap yang utama. Tuhan tiadak ada dalam Bus ini, Lanjutnya.

Sopir  berpakaian biru itu kemudian melajukan Bus ke arah tujuan. Embun berharap, masih ada waktu untuk dirinya membeli makanan kesukaan Neneknya, dari hasil ngamen hari ini. sebelum warungnya tutup.
Bus membelah mobil-mobil yang searah. Embun dan beberapa penumpang terhanyut dalam alunan laju roda. kadang berser ke kanan kadang bergeser ke kiri. Bahkan, Embun harus berpegangan erat pada palang besi agar tidak merosot jatuh karna dia berdiri di samping pintu bus. hari mulai gelap jalanan mulai terlihat remang-remang. Jalanann menuju pasar  Trenggalek menikung tajam. Bus pun ikut menuki, bagai Elang yang menyambut buruan di tengah laut. Embun terlonjak-lonjak kecil kala jalanan terasa tak rata. Sedikit terdengar derit mobol yang tidak wajar, tubuh Embun dan juga penumpang lainya mulai merosot dan....   braaakkkkk!!   Bus terpental menabrak besi beton pembatas jalan.
"ALLAH," sontak Embun menjerit. begitu juga dengan penumpang lainya.

Saat tetesan merah mengalir dari kening Embun, gadis itu tersadar, ia baru saja melihat Tuhan. sebelum bus yang di tumpanginya menabrak besi. Di depan Embun, perempuan yang tadi naik bersamanya menjerit histeris, sambil memegangi kakinya yang berlumuran darah. Di samping kaki itu, Embun melihat Tuhan Allah, Tuhan yang di lupakannya.

"Andai aku mati sedetik yang lalu, Aku yakin aku tidak dapat melihat Tuhan. Tapi melihat Neraka." bisik Embun pelan, sambil memegangi dahinya yang terbentur besi jok bus. Matanya mulai nanar, dan membuncah rasa itu  kini telah mengalir bersama asinya darah yang terus merembes. "Ternyata Tuhan tidak menunggu kaya untuk menjemputku.  Lalu apa yang aku jadikan bekal menuju-NYA?" Embun terus menagis . Namun sebuah tangis dalam syukur karena  di  perkenankan melihat keajaiban Tuhan pada kehidupanya setelah bus yang di tumpanginya ringsek tak berbentuk.

"Embun, kamu tidak apa-apa?" Suara Arul panik terdengar bersama tangis. Kala itu Embun telah di boyong ke rumah sakit terdekat.

"Aku tidak pernah ingat Tuhan. Tapi, Tuhan menemuiku di bus itu,"  ujar Embun lembut," dan aku akan mencari Tuhan. Aku tidak akan mencari Kaya lagi, karena Tuhan tidak membutuhkan kaya untuk menemuiNYA. Tuhan Allah  sayang kepadaku Arul."  Arul semakin tergugu dan memeluk erat Embun lebih erat lagi, bibir Arul bergetar mengucap Alhamdulillah.


NB; Cerita ini hanya sepenggal pengalalaman pribadi si penulis yang sangat berarti dalam hidupnya. jika ada persamaan alur cerita seperti di atas saya minta maaf disini tidak ada unsur kesengajaan. selamat membaca  (buat kamu yang suka baca ^_^) 
Semoga cerpen ini bermanfaat  Aamiin:)

Catatan sederhana; 
Sesuatu yang paling membingungkan di dunia ini adalah "MANUSIA"
karena mereka mengorbankan Kesehatanya demi "UANG"
Lalu mereka mengorbankan Uangnya demi Kesehatan
Lalu dia sangat "KHAWATIR" dengan Masa Depanya 
sampai dia tidak Menikmati "MASA KINI", Akhirnya;
Dia tidak hidup di Masa Depan dan Masa kini
Dia hidup seakan-akan tidak akan Mati, 
Lalu Dia "MATI" tanpa benar-benar menikmati apa itu "HIDUP."


Pesan AYAH  (KH.Mahfudin Arsyad);
Wahai anak-anakku, Ayahmu berpesan pada kalian semua. Tetaplah bersyukur dalam keadaan apapun. Dan HIDUPLAH di saat yang benar-benar ada dan nyata untuk kita. yaitu; SAAT INI, bukan dari bayangan MASA LALU maupun mencemaskan MASA DATANG yang belum lagi tiba.  
Salam hangat Penulis






Posting Komentar untuk "Cerpen: Musibah Membawa Berkah"