Rezim orde baru
yang bertahan selama lebih dari tiga puluh tahun berhasil mengkerdilkan
perkembangan partai-partai yang ada di Indonesia. Pemilu 1971 yang diikuti oleh
sepuluh partai lantas disederhanakan pemerintah hanya menjadi dua partai plus
satu golongan karya. Pemerintah beralasan penyederhanaan partai ini untuk
efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pemilu. Padahal secara substansi
kebijakan yang diambil rezim orde baru ini sangat bertentangan dengan sistem
demokrasi yang dianut Indonesia ketika itu. Pemerintah menganggap hanya
diperlukan dua parpol yang menjadi representasi golongan masyarakat Indonesia
ketika itu, yaitu partai Islam yang diwakili PPP, dan partai nasionalis yang
diwakili PDI. Sedangkan Golkar yang merupakan golongan kekaryaan anggotanya
terdiri atas aparat, birokrat, serta serikat pekerja di seluruh wilayah
Indonesia. Sistem yang diterapkan selama kurang lebih tiga puluh tahun ini
mengebiri demokrasi di Indonesia secara tidak langsung. Partai politik yang
pada dasarnya merupakan saluran aspirasi masyarakat dan saluran untuk
memperjuangkan ideologi tidak diperkenankan untuk berkembang hanya karena sudah
dipadukan dalam satu wadah bersama. Padahal Indonesia sebagai negara dengan
tingkat heterogenitas masyarakatnya yang tinggi sangat membutuhkan sistem
politik terbuka agar aspirasi masyarakat yang sangat beragam bisa disalurkan.
Seperti jika kita misalnya berbicara mengenai partai Islam, maka kita harus
juga berbicara mengenai kelompok Nahdhatul Ulama, kelompok Muhammadiyah, atau
kelompokkelompok lainnya. Akan sangat sulit untuk menyatukan ketiga kelompok
tersebut dalam satu wadah bersama karena tiap-tiap kelompok tersebut memiliki
tujuan dan cita-cita yang berbeda. Sama seperti halnya jika kita berbicara
mengenai partai nasionalis, maka kita akan membahas kelompok nasionalis
progresif, nasionalis koservatif, maupun nasionalis religious. Ide pemerintah
orde baru mengenai penyederahanaan partai politik dengan maksud efektifitas dan
efisiensi secara substansi hanya akan mencederai demokrasi itu sendiri.
Reformasi tahun 1998 membawa angin
segar bagi perkembangan parpol di Indonesia. Tumbangnya Soeharto turut merubah
sistem politik di Indonesia, termasuk sistem kepartaian. Demokrasi otoritarian
yang lekat dengan orde baru diganti menjadi sistem demokrasi langsung dengan
ciri dibukanya keran selebar-lebarnya untuk kebebasan bependapat, kebebasan
berserikat, dan kebebasan berekspresi. Salah satu dampak dari pelaksanaan
demokrasi langsung ini adalah timbulnya euphoria kemunculan partai politik.
Masyarakat berbondong-bondong mendirikan partai politik untuk diikutsertakan
dalam pemilu 1999. Tercatat sejak dikeluarkannya UU No.2 1999 tertanggal 1
Februari 1999 tentang partai politik, jumlah parpol yang dinyatakan absah
sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman ada sebanyak 93 buah, 48 partai
diantaranya memenuhi syarat dapat mengikuti Pemilu Anggota DPR, DPRD I, dan
DPRD II pada Juni 1999 sebagai pemilu pertama di era reformasi tersebut.
Pesatnya perkembangan partai di era reformasi ini disatu sisi merupakan tanda
meingkatkan partisipasi aktiv masyarakat dalam politik praktis. Namun di sisi
yang lain meningkatnya jumlah partai di era reformasi ini menjadi tantangan
bagi partai dan para politisi untuk terus berkembang dan bertahan agar bisa
bertahan di tengah munculnya berbagai macam partai dengan mengusung visi dan
misi yang serupa tapi tak sama.
Untuk mengatasi hal itu, perlu dilakukan
pengelolaan partai secara modern agar partai bisa tetap bertahan. Partai yang
tidak mengalami modernisasi di era reformasi maka akan tenggelam di tengah
pesatnya arus informasi yang tanpa batas ini. Pengelolaan suatu partai menjadi
barang penting dalam era demokrasi ini. Hal ini disebabkan karena partai tidak
lagi hanya bisa menjual satu jenis produk dagang saja agar dikenal oleh publik.
Di masa demokrasi langsung ini masyarakat sudah lebih cerdas dalam memilih
partai. Partai tidak bisa lagi hanya terpaku pada satu tokoh dominan yang
menjadi citra partai. Atau partai juga tidak bisa lagi menjual ideologi dan
latar belakang sejarah pendiriannya. Seluruh kemasan partai menjadi daya tarik
bagi masyarakat dalam menentukan partai politik pilihannya. Partai yang
kadernya terlibat dalam kasus korupsi akan semakin menenggelamkan citra partai
tersebut. Untuk itu suatu partai sudah harus memiliki sistem pengelolaan yang
modern agar bisa bertahan ditengah-tengah bermunculannya partai-partai baru
dalam iklim demokrasi
Posting Komentar untuk "Partai Politik di Indonesia Pada Era Reformasi"